Hitam yang memutih

Sabtu, 13 Agustus 2011

Bapak Menyebalkan?


Siang itu aku duduk sendirian di kursi paling kiri diantara sederet kursi-kursi kosong. Udara terasa sangat panas, ditambah lagi sekarang bulan puasa. Tak banyak orang di sini, ada bapak bertubuh kurus berkulit hitam mengkilat dengan kemeja merah mudanya yang mulai memudar dan sedikit terlihat kusut tak disetrika. Bapak itu duduk di atas tumpukan batu, menunggu dengan tatapan tajam ke arah jalan raya sebelah utara, tak pernah dipalingkan pandangannya walaupun sesekali berdiri sambil meluruskan kakinya yang mulai pegal. Sudah dua kali aku dikagetkan oleh anak kecil yang keluar dari toko di belakang tempat dudukku yang berlari sambil membawa sepotong es krim coklat yang mulai meleleh.
Sudah dua jam aku menunggu di tempat ini, masih ditemani bapak bertubuh kurus yang memberi kode dengan tangan kananya kepada setiap supir bus yang lewat. Sesekali bapak itu diberi selembar kertas berwarna hijau lusuh ketika ada penumpang yang naik. Langsung saja sang bapak memasukkan kertas itu ke dalam sakunya.
Datang seorang pria bertubuh tinggi ceking memakai pakaian hijau yang rapi, di balik topi baret yang dikenakannya terlihat kepalanya gundul tak berambut. Pria itu berdiri di bawah pohon di depan tempat dudukku, badannya serong ke arah barat laut sambil menengokkan kepalanya ke arah utara. Ada kursi di dekatku, tapi pria itu saya rasa tidak ingin duduk, padahal sudah lebih dari setengah jam pria itu berdiri. Tubuhnya yang tegap terlihat sudah terbiasa berdiri lama.
Mungkin sudah kesebelas kalinya aku ditanya oleh kondektur bus kota yang berhenti sejenak di hadapanku, semuanya aku tolak. Waktu sudah semakin siang, dan akupun mulai khawatir bus yang biasa membawaku pulang ke kampung halaman sudah tidak lewat lagi. Aku mulai kepanasan, ku pindahkan kursi plastik itu ke dekat pohon di samping kiriku. Tidak bisa aku bayangkan betapa kusutnya wajahku waktu itu. Tak lama kemudian bus yang ketigabelas kalinya berhenti tak jauh dari tempat dudukku. Seorang pria bertubuh tinggi besar berperut buncit dan berkumis tebal keluar dari pintu bus dan mulai melangkahkan kakinya ke arahku. Bisnya kosong, hanya ada supir bus dan satu penumpang yang duduk di dekat pintu bus.
“mau ke mana mbak?” bapak itu tiba-tiba mengagetkanku dengan suaranya yang galak.
“Ngrayun pak”
“ikut saya saja mbak sampai ke Bungkal, bus Ngrayun sudah habis, mana ada bus ke sana jam segini”
bapak itu melontarkan kata dengan nada tinggi dan gaya seperti penagih hutang kelas kakap. Aku hanya tersenyum sebagai tanda penolakan. Terlihat wajahnya mulai gusar melihat penolakanku, tak ada senyum sekali pada wajahnya, alisnyapun malah mulai menukik ke tengah menatapku dengan tatapan tajamnya.
“busnya masih lama mbak”
Aku masih tetap tersenyum sambil menatap wajah bapak yang makin garang itu. Ada sedikit rasa takut, yang aku sembunyikan, aku mencoba untuk tetap tenang. Tidak lelah juga bapak itu merayuku, malah berdiri sambil meletakkan kedua tangannya dipinggang seakan menatang, tetapi matanya tak lagi mentap tajam ke arahku, matanya seperti menerawang jauh entah kemana. Wajahnya kian gusar ketika sudah sepuluh menit berdiri di sampingku dan tak ada satu penumpangpun yang datang. Akupun juga mulai kelelahan, sudah dua jam lebih menunggu. Aku juga bukan tipe orang yang sabar, tapi sabar adalah sebuah pilihan, aku memilih belajar untuk bersabar.
Sudah lima belas menit berlalu setelah bapak kondektur gendut tadi bersamaku. Untuk terakhir kalinya bapak itu menanyaiku dan aku tetap menolaknya hingga bapak itu dengan senyum kesalnya melangkah ke dalam bus dan buspun melaju dengan membawa satu penumpang. Aku tersenyum melihat bapak itu, tak ada sedikitpun rasa jengkel atau marah dengan tingkahnya yang memaksaku. Dalam hatiku berkata, aku tidak tersenyum karena lucu, justru anganku mulai melayang membayangkan jika aku yang berada pada posisinya. Panas yang terik, menahan haus dan lapar, sedangkan bus sangat sepi penumpang. Mungkin saja aku akan lebih garang dan lebih menyebalkan dari bapaknya. Itulah kehidupan, kadang kita harus mencoba untuk membayangkan posisi orang lain untuk bisa mengerti. Bapak yang terlihat menyebalkan itu belum tentu benar-benar menyebalkan. End.

Tidak ada komentar: